HUSSPUSS
husspuss
1
Diamlah
Kasihani
mereka
Mereka
sekedar penyair
Husspuss
5
Maafkan
aku
Aku
bukan penyair sekedar
Aku
depan
Depan
yang memburu
Membebaskan
kata 10
memanggilMu
pot
pot pot
pot
pot pot
kalau
pot tak mau pot
biar
pot semau pot 15
mencari
pot
pot
hei
Kau dengar mantraku
Kau
dengar kucing memanggilMu
Izukalizu
20
Mapakazaba
itasatali
tutulita
Papliko
arukazuku kodega zuzuzkalibu
Tutukaliba
dekodega zamzam lagotokoco
Zuzuzangga
zegezegeze zege 25
Zegeze
zukuzangga zegezegeze zukuzang
Ga
zegezegeze zukuzangga zegrzegeze zu
Kuzangga
zegezegeze aahh...!
Nama
nama kalian bebas
Carilah
tuhan semaumu 30
Sutardji Calzoum Bachri
Amuk
Puisi Husspuss ini,
larik 20 sampai 28 terdiri dari kata yang hanya bunyi-bunyi bahasa yang tidak
mempunyai pengertian. Kata-kata itu asing dalam bahasa indonesia dikaji dalam
berbagai segi. Panjang kata yang terdiri dari 4-7 suku kata, Rentetan suku
katanya berupa urutan konsonan dan vokal secara berurutan dengan pola vkvkvkv.
Pengulangan bunyi pot dari larik 12-17 yang kurang jelas maknanya. Sehingga
terdapat asonansi bunyi /o/ yang dominan di baris ke 12-17. Bunyi /o/ berkesan
pokok dan kokoh. Struktur fonem yang didominasi /e/, /u/ dan/z / pada baris ke
25-28 memberikan kesan murung, lemah gemulai dan berdesis. Penggunan
bunyi-bunyi seperti ini tidak lazim dalam bahasa indonesia.
Seandainya ada sajak yang terdiri dari
bunyi-bunyi seperti ini saja tanpa ada kata yang punya penegertian maka akan
sulit sekali untuk melakukan interpretasi. Puisi itu menarik karena
keestetisannya. Segi estetis yang ditimbulkan karena keanehan yang diciptakan.
Dalam keadaan tertentu unsur bunyi dapat berfungsi tanpa makna, namun hal itu
hanya akan tercipta jika ada konvensi (kesepekatan) pengetahuan pada pihak
pembaca jika kata yang tidak bermakna itu bisa dan harus diberi makna, hal
seperti ini oleh Herman J. Waluyo disebut sebagi penyimpangan bahasa.
Penyimpangan bahasa
sering menjadi ciri dari suatu periode sastra. Dalam puisi Husspuss mengalami 3
buah penyimpangan bahasa. Pertama penyimpangan leksikal yakni kata-kata yang
digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan
sehari-hari. Sutadji memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya
dan disesuaikan dengan tuntutan estetis.
Kedua adalah penyimpangan sintaksis.
Puisi tidak membentuk kalimat. Namun membentuk larik-larik. Dapat kita lihat
jika sutardji sering kalap dalam menggunakan huruf kapital pada awal larik dan
mengakhirinya dengan titik. Bahkan tidak ada sama sekali yang mengunakan kaidah
ini dan yang terakhir penyimpangan grafologis. Dalam menulis kata-kata,
kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakakukan penyimpangan dari kaidah
bahasa yang sudah berlaku. Huruf kapital dan tanda baca tidak digunakan sebagai
mana mestinya. Hal ini dilakukan oleh penyair untuk mendapatkan efek estetis.
Penyimpangan sistem tulisan seperti in biasa disebut penyimpangan
grafologis.(Teew, 1983:149 )
Pembebasan kata yang dimaksudkan masih
memungkinkan kelonggaran penyimpanagan bahasa yang ada batasnya untuk
termungkinkanya komunikasi. Walau bagaimanapun juga kemungkinan berkomunikasi
dengan pembaca harus tetap dipertahankan. Untuk menghindari cap puisi gelap.
Walaupun predikat puisi gelap itu bisa berbeda dari satu orang ke orang lain,
sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Dalam puisi indonesia
modern mungkin sekali Sutardjilah yang paling berani menyimpang kebiasaan kode
dan norma kebahasaan bahasa Indonesia. Sutardji sendiri mengatakan puisinya
mantra, alat bahasa yang gaib, yang memungkinkan manusia menghubungi atau menguasai
dunia yang di luar kemampuannya atau jangkauanya yang normal. Namun juga tidak
berarti bahwa sajak Sutardji sama sekali keluar dari konvensi bahasa. Sebab
dalam hal Husspus pun penyimpangan hanya mungkin berkat kode yang ada.
Pemberontakan hanya akan ada jika ada yang “diberontaki”. Dan interpretasi
penyimpangan dan pemberontakan hanya mungkin dalam relasi dan kontras dengan
apa yang disimpangi.
Secara garis besar
unsur keidahan yang menonol dalam pusi Husspuss ini adalah unsur diksi yang
tidak lazim dan berusaha membebaskan diri dari konvensi tata bahasa yang lazim
digunakan. Namun marilah kita liahat bebrapa cuplikan larik puisi Husspuss
dibawah!
Diamlah
2
Kasihani
mereka
Mereka
sekedar penyair
Husspuss
Maafkan
aku
Aku
bukan penyair sekedar
Aku
depan
Depan
yang memburu
Membebaskan
kata
memanggilMu
11
Kau
dengar kucing memanggilMu 19
Nama
nama kalian bebas 29
Carilah
tuhan semaumu 30
Larik-larik di atas
bisa disebut biasa dan sederhana saja bagi orang yang interpretasinya berskala
tertentu. Namun tidak dapat ditampik jika dalam puisi Husspuss juga terdapat
kata-kata yang aneh. Untuk memperkaya pengetahuan kita tentang puisi mantra mari
kita lihat puisi O dibawah ini.
O
dukaku
dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku
resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku
ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku
maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku
siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku
waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku
duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong
o risau o Kau O...
(Sutardji
Calzoum Backri)
Dalam puisi O ini
Sutardji memilih diksi yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata
itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam
puisinya ini hanya ada makna denotasi.
Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan
Sutardji adalah kata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi
ada kata yang berasal dari bahasa daerah antara yaitu bahasa Jawa, terlihat
pada kata ”bolong” yang berarti berlubang.
Disisi lain hanya
sedikit kata yang menimbulkan efek efoni (tehnik memindahkan bunyi) antara lain
duhairindu, duhaingilu, duhaisangsai, orindu, obolong, dan orisau. Sehingga
puisi tersebut tidak terlihat kemerduannya.
Walaupun banyak terdapat asonansi
seperti
Dukaku
dukakau dukarisau
Resahku
resahkau resahrisau resahbalau
Raguku
ragukau raguguru ragutahu
Mauku
maukau mautahu mausampai.......maugapai
Siasiaku
siasiakau.....siasiabalau siasiarisau
Waswasku
waswaskau
Duhaiku
duhaikau duhairindu duhai ngil
Asonansi yang ada
tersebut tetap saja menimbulkan efek kakafoni. Karena kesan bunyi indahnya
seperti bunyi dalam mantra jadi terkesan biasa dan tidak merdu. Begitu juga pada
iramanya paduan bunyi itu hanya membuat irama yang datar-datar saja sehingga
tak ada luapan-luapan emosi yang bisa mempengaruhi irama.
Bahasa kiasan yang
ditampilkan adalah repetisi, yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada
kata itu. Seperti tekanan pada kata ”duka” yang diulang sampai lima kali
terlihat kalau sang penyair sedang mengalami duka entah duka pada dirinya, pada
kau atau mungkin kekasihnya, duka pada temannya ataupun duka seekor kucing.
Begitu juga penekanan pada kata resah,
ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi
makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga
keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata
itu merupakan penekanan juga pada artinya.
Dalam puisi O ini
terdapat beberapa pencitraan antara lain, gerak, pedengaran, perasa dan
penglihatan. Gerak terlihat dari kata”maugapai” karena seakan kita bergerak
untuk menggapai harapan itu. Pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena
kata ngiau disitu adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan
perbandingan. Indera perasa juga terasa dilibatkan dalam kata ”duhaingilu”
sehingga pembaca seakan ikut merasa ngilu dengan membaca puisi tersebut. Selain
itu juga ada pencitraan penglihatan pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena
kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana.
Semuanya merupakan
pencintran yang bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya sehingga
bisa merasakan sakit dan kehampaan yang ada dalam puisi tersebut. Dengan
melibatkan indera bisa dirasakan dengan seluruh imajinasinya apa yang ada dalam
puisi tersebut.
Kata-kata yang seakan berupa mantra itu
merupakan ekspresi dari doa. Penyair merasa duka, resah dan ragu yang mendalam.
Perasaan inilah yang membuat penyair berkeinginan untuk mencapainya walaupun
semuanya harus sia-sia.
Semuanya hanya tinggal perasaan waswas
dan kehampaan. Kehampaan yang dirasakan itu dilambangkan dengan kata bolong dan
kosaong yang seakan-akan seperti huruf O. Jadi sebenarnya huruf O adalah
penggambaran dari perasaan hampa dan kosong sang penyair.
Selain itu kata-katanya
yang seperti mantra seakan-akan menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Hingga
puisi itu merupakan hakikat dari Tuhan dan dosa. Tentang bagaimana manusia merasa
berdosa dengan segala keresahan dan kesedihan sehingga semuanya hanya bisa
dikembalikan pada Tuhan.
Sajak ini menggambarkan suasana optimis
pada penyair. Suasana optimis ini berubah menjadi absurd, karena walaupun sudak
merasa tidak mungkin tetapi masih ada usaha untuk mengapai semua itu. Dengan
keyakinan semuanya akan bisa tercapai walaupun itu juga tak mungkin.
Sajak ini kata-katanya
dikuai oleh emosi dan rasio yang tak menentu sehingga menjadi sebuah misteri.
Karena semuanya seakan hanya sebuah misteri yang seakan-akan semuanya itu sulit
untuk dipahami dan terlihat tidak komunikatif. Kandungan yang tak kalah kayanya
dari puisi O dapat dilihat dalam puisi mantera.
MANTERA
lima
percik mawar
tujuh
sayap merpati
sesayat
langit perih
dicabik
puncak gunung
sebelas
duri sepi (5)
dalam
dupa rupa
tiga
menyan luka
mengasapi
duka
puah!
kau
jadi Kau! (10)
Kasihku
Dilihat dari bentuk
sajaknya, sajak ini terdiri dari dua bait yang tidak
simetris. Bait pertama terdiri dari
delapan larik dan yang ke dua terdiri
dari tiga larik. Keadaan tak sebanding
ini memberi kesan berat, adanya
tekanan. Sesuai dengan judul, maka
interpretasi yang timbul kemudian
adalah adanya masalah, dan untuk
mengembalikan pada keadaan semula,
pada harmoni, diperlukan mantra.
Dilihat dari rimanya,
tidak banyak rima yang terdapat pada larik-larik
awal atau akhir seperti yang biasanya
terdapat pada sajak tradisional, tetapi
persamaan bunyi vokal selarik atau
asonansi banyak ditemukan. Memang,
mantra pada prinsipnya adalah permainan
bunyi
Sajak yang terdiri dari duapuluh delapan
kata inihanya mengandung dua verba yang salah satunya merupakan bentuk pasif
(dicabik), sedangkan yang lain merupakan bentuk nomina dan adjektiva. Hal ini
memberi kesan statis seperti juga dukun yang sedang mengucapkan mantra di depan
kemenyannya. Meskipun demikian tak adanya tanda baca selain dua tanda seru,
serta tiadanya huruf besar, menimbulkan kesan adanya suatu gerakan yang tak
berhenti, bagaikan asap yang mengepul tinggi.
Sementara itu, kedua
tanda seru menunjukkan fungsi ekspresif yang kuat.
Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan
di atas, judul sajak ini adalah “Mantra”. Apabila kita perhatikan, semua
kosakatayang digunakan sangat mendukung hal ini. “lima percik mawar” adalah air
mawar yang biasa digunakan oleh sang dukun dalam berdoa, demikian pula “tujuh
sayap merpati”. Pada umumnya yang digunakan sebagai korban adalah ayam hitam
namun di sini digunakan jenis unggas lain, yaitu merpati. Ini menunjukkan bahwa
Sutardji ingin menunjukkan bahwa tidak selalu hitam itu simbol keburukan.
Selanjutnya frase “sesayat langit perih” menunjukkan adanya suatu kesakitan
atau kesedihan yang membutuhkan mantra.
Sajak ini juga menarik
dari aspek pragmatisnya, karena apabila bait pertama dikemukakan oleh
pencerita, untuk menampilkan keadaan sang dukun yang sedang berdoa, maka bait
kedua hanya berisi komunikasi langsung antara
dukun dengan penguasa alam semesta.
Itulah sebabnya bagian ini sangat
ekspresif. Seruan “Puah” dilontarkan
sang dukun pada akhir doanya,
biasanya disertai ludah yang dianggap
mempunyai kekuatan gaib, kekuatan
penyembuh.. Maka “kau” yang ditampilkan
dengan huruf “k” kecil, berubah
menjadi “Kau” dengan huruf “besar”,
artinya si dukun telah berhasil
menyatu dengan penguasa alam semesta
yang disebutnya dan dianggapnya
sebagai “Kasihku”.
SEPISAUPI
sepisau
luka sepisau duri
sepikul
dosa sepukau sepi
sepisau
duka serisau diri
sepisau
sepi sepisau nyanyi
sepisaupa
sepisaupi (5)
sepisapanya
sepikau sepi
sepisaupa
sepisaupi
sepikul
diri keranjang duri
sepisaupa
sepisaupi
sepisaupa
sepisaupi (10)
sepisaupa
sepisaupi
sampai
pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji
C. Bachri 1973)
Berangkat dari
penyusunan kata, puisi ini sangatlah khas yaitu pada permainan bahasa yang
digunakan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggabungan beberapa kata
sekaligus, seperti
sepi
+ pisau → sepisau
sepi
+ pikul → sepikul
sepi
+ pukau → sepukau
sepi
+ pisau + apa → sepisaupa
sepi
+ pisau + api → sepisaupi
Pertautan-pertautan kata tersebut
menimbulkan suatu kata baru yang unik. Sehingga hal itu mengharuskan pembaca
untuk keluar dari frame pemaknaan konvensional.
Luka bersanding dengan
duri, dosa dengan sepi, duka dengan diri, sepi dengan nyanyi, diri dengan duri,
pasangan-pasangan kata yang membuat pembaca harus merekonstruksi ulang mengenai
pemaknaan kata yang telah terekam dalam memori. Lebih jauh di sinilah kekuatan
Sutardji untuk mengeluarkan kata dari beban makna yang disandang selama ini.
Kata-kata tersebut menghasilkan bentukan kata dan makna yang lain.
Dari segi unsur bentuk,
keindahan puisi tersebut terlihat pada perualangan bunyi yang ditimbulkan dari
rima.Rima puisi ini digarap sangat mengesankan oleh Sutardji, dengan
menggunakan pola rima a a, yaitu di setiap akhir larik puisi ini diakhiri
dengan bunyi i. Sehingga menimbulkan suasana bunyi yang merdu dan indah.
Permainan kata yang
dilakukan Sutardji banyak kita dapati dalam puisi ini. Yang paling menonjol
adalah pada kata sepisaupi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata ini
merupakan hasil dari penggabunngan beberapa kata. Kata tersebut yaitu /sepi/,
/pisau/, /api/. Jika kita perhatikan setiap kata tersebut mengandung vokal i.
Selain itu puisi ini
banyak menggunakan bunyi konsonan s dan p. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi”
menimbulkan efek magis dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada
pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra.
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam
baris-baris puisi menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau
keindahan bunyi. Terdapat pada kata,
Sepisaupa
Sepisaupi
Sepisapanya
Pengulangan bunyi
konsonan yang sama dalam baris-baris puisi biasanya pada awal kata atau
perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan
bunyi. Terdapat pada kata,
sepisaupa
sepisapanya
nyanyi
Unsur Nada dan Suasana
puisi yang terlukiskan pada puisi tersebut adalah suasana magis. Efek magis
ditimbulkan Sutardji melalui pengulangan kata serta pengobrak-abrikan kata
dalam puisi sepisaupi ini. Kata sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal
itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus
kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada
“sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut
berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar
seperti mantra.
Efek magis yang murni
pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan
(repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak
diulang-ulang dalam puisi ini. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang
diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan
menunjukkan sesuatu yang gaib.
Dalam puisi, untuk
memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk
membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk
menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran).
Hal tersebut juga dapat dilihat dari bait kedua yang isinya tak jauh beda,
yaitu menceritakan tentang sebuah penderitaan “sepikul diri keranjang duri”.
Larik tersebut mengandung majas hiperbola, yang digunakan untuk memperkuat
makna penderitaan yang luar biasa.
Unsur dominan yang
mampu menunjukan konsep estetis dalam puisi “Sepisaupi” adalah bunyi. Secara
estetis puisi ini memiliki bentuk puisi yang sedikit beda, tidak ada
kateraruran yang ada dalam bentuknyata dapat dikatakan berbentuk bebas.
Meskipun pengarang
banyak menggunakan kata-kata yang tabu , tetapi hal itu tidak mengurangi nilai
keindahannya. Malah mebuat puisi ini semakin menarik dan memiliki kesan yang
berbeda.
Jadi nilai estetis yang terdapat pada
puisi Sepisaupi karya Sutardji ini dilihat dari segi karakteristik bahasanya,
meliputi diksi, bunyi, dan sarana retorika (repetisi), sedangkan dari segi
karakteristik bentuknya, meliputi rima dan bentuknya yangbebas.
TRAGEDI WINKA & SIHKA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri ini
termasuk salah satu puisi kontemporer. Pada periode ini, puisi yang diciptakan
memiliki banyak kesamaan, misalnya bentuk yang tidak beraturan yakni bebas
sesuai dengan selera sang penyair. Bila dalam puisi sebelumnya (Chairil Anwar)
sangat menempatkan makna dan isi puisi menjadi hal terpenting, tidak dengan
Sutardji, ia ingin menempatkan bentuk puisi (fisiknya). Ia ingin menempatkan
puisi yang sama dengan mantra, dengan adanya pengulangan kata, frasa, dan
bunyi. Di samping itu, ia juga mengutamakan bentuk fisik berupa tulisan-tulisan
yang mengandung maksud tertentu seperti yang tercermin pada syair di atas.
Kata inti dari syair
tragedi sihka winka adalah kata kasih dan kata kawin. Tema syair ini adalah
perjalanan hidup yang sengsara dengan banyak marabahaya. Ekspresi yang
terkandung di dalamnya adalah makna nonsense dan tipografi yang penuh makna.
Kata kawin, kasih,
winka, sihka, ka – win, dan ka – sih adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda
itu sebagai berikut: bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti
dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya-pun terbalik,
berlawanan dengan arti kata aslinya. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi
kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin”
adalah persatuan, sebaliknya “winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti
cinta, sedangkan “sihka” kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka”
dan “sihka” itu adalah tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin”
dan “kasih” tidak bisa dipertahankan dan terpecah menjadi sih – sih, kata tak
bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka.
Sedangkan penulisan
puisi tragedi winka sihka yang disusun secara zig zag ini membuat bentuk puisi
ini berbeda dengan yang lain. Justru bentuk yang berbeda dengan yang lain ini
yang membawa nilai estetik tersendiri, karena penyair mempunyai makna
tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan, yakni sebuah tanda yang
merupakan suatu lambang keliku-likuan suatu perjalanan yang penuh dengan
bahaya. Dengan kata lain, bentuk larik dan kata dalam puisi tersebut membentuk
makna yang tersembunyi. Hanya penyairlah yang tahu maksudnya. Sebagai pembaca,
kita dapat memaknai kata-kata yang tertulis dalam larik-larik puisi itu.
Q
!
!
!
! !
!
!! ! ! !
!
!
a (5)
Lif
! !
l
l
a
l
a m
!
! (10)
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(Suradji
c. Bachri)
Puisi di atas bila
disingkat menjadi "Q : alif lam mim". Hal itu jelas meunjukkan puisi
ini mengutip salah satu ayat dalam Al Quran. Beberapa ayat dalam Al Quran yang
berupa huruf-huruh hijaiyah tanpa harakat, misalnya : tho ha, lam mim shod, dan
lain-lain.
Tipografi puisi
sebagaimana tertulis di atas sebagaimana pembacaan kalau qiraah. Ayat ini terpampang
jelas pada Al Baqarah ayat pertama. Keunikan bentuk pada puisi ini memiliki
daya tarik tersendiri.
Lif
l
l a
l a
Bentuk tersebut seperti
sebuah selurutan, yakni I dan a yang semakin menurun. Jika kita maknai, dalam
kehidupan kita tidak selalu berada diatas namun bias jatuh juga.
! a
Lif
l
l a
l a
Jika kita amati lagi
bentuk ini seperti sebuah jalan yang bercabang, hal itu bias dimaknai bahwa
dalam hidup seringkali kita dihadapkan pada beberapa pilihan, maka kita harus
bisa menentukan pilihan yang terbaik dalam hidup kita.
! a
Lif ! !
l
l a
l a m
! !
Bentuk tersebut seperti
orang yang sedang bersujud, hal itu menunjukkan bahwa makhluk hidup senantiasa
bersujud pada Tuhan.
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Bunyi panjang saat
melafalkan harokat mim pada saat membaca alif lam mim, digambarkan penyair
dengan menggunakan rentetan-rentetan bunyi tersebut. Dan bentuk dari rentetan
bunyi tersebut melambangkan panjang usia manusia dan usia manusia hidup di
dunia tidaklah sama
Dalam puisi tersebut
terdapat huruf m sebanyak 28 kali (jumlah huruf hijaiyah), i sebanyak 13 kali
(sifat wajib Allah), m sebanyak 33 kali (zikir dalam sholat). Huruf M yang
berjumlah 28 tersebut melambangkan tingkat iman manusia mula-mula. Huruf i
sebanyak 13 melambangkan ujian keimanan oleh Allah SWT dan m sebanyak 33
melambangkan tingkat iman manusia seusai mendapatkan ujian.
Puisi Q ini menunjukkan
bahwa Allah sengaja tidak memberitahukan maknanya secara langsung. Penyair
ingin menggambarkan bahwa Allah memberikan teka-teki kepada manusia. Dalam hal
ini, Allah hanya memberikan isyarat konsonan dasarnya dan kita yang
memaknainya.
Letak keindahan dari puisi ini bisa kita
lihat dari segi bentuknya. Melambangkan masjid dan jika dilihat dari samping
terdapat lafadz Allah. Jadi pengarang menyampaikan pesan yang ingin
disampaikannya melalui symbol-simbol dan bentuk.
Selanjutnya akan
dibahas jenis puisi kontenporer lainya. Yakni puisi mbeling contoh puisi mbeling
dapat dilihat di bawah ini.
Sajak
Sikat Gigi
Seseorang
lupa menggosok giginya sebelum tidur 1
Di
dalam tidur ia bermimpi
Ada
sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya
terbuka
Ketika
ia bangun pagi hari 5
Sikat
giginya tinggal sepotong
Sepotong
yang hilang itu agaknya
Tersesat
di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan
ia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu
berlebih-lebihan 10
(Yudistira
Adi Nugroho 1974)
Secara sekilas puisi
mbeling di atas tidak berbeda dengan cerita humor yang disampaikan dengan
bahasa lugas dalam kehidupan sehari-hari. Gaya penulisan prosaik begitu
tertonjol. Puisi yang terdiri dari 10 baris di atas memiliki keanehan yang
mencuat di baris ke 7 dan 8 yang terlebih dahulu dirangsang oleh baris 5 dan 6.
Cerita seperti itu mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata.
Sungguh khayal dipikirkan jika sebuah sikat gigi datang dalam mimpi seseorang
karena orang itu lupa menyikat gigi sebelum tidur. Apalagi saat pagi tiba sikat
gigi itu hilang sepotong karena tersesat didalam mimpi.
Namun akan terlalu dangkal jika puisi
terbaik tahun 1976-1977 Dewan Kesenian Jakarta itu dimaknai sesedarhana itu.
Keluguan yang disampaikan sampai pada titik nekad. Tampaknya sudah tidak
memperdulikan lagi apakah yang tertulis diatas sebuah sajak atau hanya
petualangan yang tidak pernah dilakukan oleh penyair-penyair yang berbobot.
Struktur batin dari
puisi diatas kurang lebih dapat dimaknai sebagai suatu hal yang terkadang kecil
tapi jika dilupakan akan mengakibatkan hal yang buruk. Contoh yang diangkat
dalam puisi adalah sikat gigi, sepele bukan, namun jika tidak dilakukan maka
ribuan kuman akan bersarang dimulut kita saat tidur malam. Begitu juga hal-hal
kecil yang sering terabaikan dalam hidup, saat hal-hal kecil itu bertumpuk maka
akan membuat satu kekuatan yang akan merepotkan.
Meskipun sebagian orang
belum bisa menerima kehadiran puisi semacam ini dalam kesusastraan yang serius,
namun tidak dapat dipungkiri jika kehadirran sajak semacam ini memberikan corak
baru dalam perpuisian Indonesia. Dalam Sajak Sikat Gigi pemanfaatan potensi
bahasa sebagai rangkaian bunyi-bunyi, baik menyangkut makna atau tidak,
terlihat pada persajakan.
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya
supaya
terbuka
Secara sekilas dapat
kita lihat adanya majas personifikasi. Karena hanya manusia atau individu
bernyawa yang dapat melakukan aktifitas “mengosok-gosok”. Sikat gigi bukanlah
mahluk hidup maka terjadi majas personifikasi. Namun dapat jika ditelaah lebih
dalam lagi puisi Sajak Sikat Gigi sama sekali tidak mengandung majas. Meskipun
kegiatan mengosok-gosok hanya bisa dilakukan oleh mahluk hidup tetapi dalam
mimpi tokoh yang diceritakan hal itu benar-benar terjadi. Ia berdiri untuk
pengertian yang sesunguhnya. Bait terakhir yang terdiri dari dua baris
merupakan kesatuan bulat yang mengikat bait-bait diatasnya. Bait itu menjadi
semacam kesimpulan dari uraian diatasnya. Dalam narasi biasa disebut ending.
Sayangnya kesadaran
tentang hal-hal kecil seperti ini selalu di abaikan sebagai suatu hal yang
sepele dan khayal terjadi. Hal ini terlukis dalam bait terakhir sebagai ending
dari puisi bergaya prosaik ini. Selain menonjol dalam hal gaya kepenulisan, ada
pula puisi mbeling yang menonjol dalam hal diksi seperti dibawah ini
Puisi
buat pacarku
Duhai pacarku,
Yang pesek
Sebetulnya ik enggak ngebet
Ama situ
Tapi apa daya
Babemu kaya
Nanti kita berbulan madu
Pakek corolla
Ke neraka!
(Amin
Subagio, 1976)
Dari segi bahasa yang
dipergunakan dalam Puisi Buat Pacarku sudah sangat jelas bahasa yang digunakan
bukan bahasa Indonesia dalam ragam yang baku. Bahasa yang digunakan itu lebih
dekat dengan bahasa sehari-hari. Kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang
berasal dari bahasa daerah banyak kita jumpai dari sajak itu. Yaitu pengunaan
bahasa indonesia dialek Jakarta. Misalnya ik, enggak.ngebet, dan babe. Pengunaan
bahasa sehari-hari seperti itu dan bahasa yang terpengaruh oleh bahasa daerah
terasa lebih akrab, lebih memasyrakat, dan lebih nakal.
Sedang maknanya secar
eksplisit menampar kebanyakan manusia jaman sekarang yang memilih jodoh. Harta
menjadi ukuran yang pertama kali dilihat sebelum mengiyakan sebuah ikatan
rumahtangga. Sedang dalam ajaran suatu agama tertentu harta menjadi
pertimbangan yang kesekian. Seharusnya yang dilihat pertama kali sebelum
menetukan pendamping hidup adalah perilakunya.
Orang yang berperilaku baik lebih
mungkin bisa membawa sebuah rumahtangga kepintu surga. Sedangkan harta babe
seperti yang dikemukakan dalam puisi diatas hanya akan membawa ke neraka.
Memang juga tidak bisa langsung dipukul rata seperti demikian. Namun harta yang
tidak dari kerja keras sendiri, apalagi mendapatkanya dengna cara menikahi sang
putri dari empunya harta, bukankah hal seperti itu hanya mengedepanlan kepusan
pribadi bukan hal yang sebenarnya dicari dalam rumahtangga.
Sumber: http://nearpunyakumpulanbahasadansastra.blogspot.com/2010/11/nilai-nilai-estetis-dalam-puisi.html
Artikel
No comments:
Post a Comment