PENDAHULUAN
Sosok
Laisa adalah sebuah bentuk pengorbanan yang luar biasa ikhlas dari seorang
kakak kepada adik-adiknya, meskipun Laisa tahu bahwa Dalimunte, Ikanuri,
Wibisana, dan Yashinta bukan adik kandungnya. Sebagai makhluk Tuhan, dia pandai
mensyukuri segala nikmat-NYA dengan keterbatasan, kerja keras, dan ujian. Jika
dikategorikan ke dalam nilai-nilai kecerdasan emosional, maka Laisa memiliki
sifat kesadaran atau kepekaan yang tinggi. Dia mengerti benar keadaan
ekonominya yang sulit dan harus membantu Mamak Lainuri membiayai kebutuhan
ekonomi dan membiayai sekolah adik-adiknya hingga akhirnya laisa mampu
mengambil keputusan yang benar-benar penting.
Dewasa
ini banyak pelajar atau lulusan pendidikan yang kurang menunjukan sifat
terpuji. Banyak dari mereka yang melakukan pencurian, pemerkosaan, dan
penyimpangan sosial negatif lainnya. Diantara penyebab dari permasalahan
tersebut adalah adanya pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif atau
kecerdasan intelektual saja. Sementara aspek afektif dan psikomotor kurang
diperhatikan. Dengan pemaparan karakter Laisa yang sederhana, berani, dan
pantang menyerah, diharapkan masyarakat mengerti bahwa keindahan hati lebih
mulia daripada keindahan secara fisik. Sosok Laisa dapat dipastikan menjadi
dambaan tak terkecuali masyarakat yang gemar membaca novel karya Tere Liye yang
berjudul Bidadari-Bidadari Surga ini.
Pemakalah
berharap dengan memberikan pemahaman dari aspek psikologi bahwa kehidupan Laisa
dapat begitu dekat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya dan akan lebih
mudah khususnya bagi generasi muda untuk mendapat panutan demi didapatkannya
keseimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ)
yang menjadi salah satu tujuan seminar.
ISI
Novel
adalah salah satu media pembelajaran yang dapat merangsang banyak panca indera
untuk menerima informasi atau komunikasi. Novel adalah karya sastra fiksi,
bukan hayalan belaka dan diciptakan dari perenungan. Novel Bidadari-Bidadari
Surga karya Tere Liye didalamnya ada nilai-nilai pendidikan, kerja keras,
kedisiplinan, pengorbanan yang ikhlas sebagai wujud syukur terhadap Allah SWT.
Bercerita tentang seorang kakak dengan keempat adiknya yang bukan adik
kandungnya. Pandai mensyukuri keadaan dengan keterbatasannya dan selalu bekerja
keras. Jika dikategorikan dalam nilai-nilai kecerdasan emosi, Laisa termasuk
orang yang mempunyai sikap sadar diri, yaitu peka terhadap sekitar.
Hasil
penelitian menunjukkan: 1). Dalam novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye
terdapat nilai emosional, nilai ini terperinci dalam nilai-nilai emosional yang
dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional
Intelligence”. Nilai-nilai tersebut yaitu: a). Mengenali emosi diri,
diantaranya: mengenali emosi diri, mendengarkan suara hati, dan memahami alam
bawah sadar, b). Mengelola emosi, diantaranya: penguasaan diri, marah,
mengatasi kecemasan, dan menangani kesedihan, c). Memotivasi diri seniri,
diantaranya: kecakapan utama, kendali dorongan hati, hati risau pikiran kacau,
optimisme, dan flow, d). Mengenali emosi orang lain/empati, e). Membina
hubungan, diantaranya: seni sosial, penunjukan emosi, keterampilan pengungkapan
emosi dan penularan emosi. 2). Kandungan novel penuh dengan muatan emosi dalam
proses pembelajaran dan mensikapi hidup dalam keterbatasan dapat dijadikan
referensi baik ecara formal maupun informal.
Solovey
memperluas kemampuan kecerdasan pribadi Gardner menjadi lima wilayah utama,
yaitu :
1. Mengenali
emosi diri. Kemampuan utnuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal
penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan
perasaan. Orang yang mempunyai keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah
pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi
akan perasaan mereka yang seungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan
masalah pribadi. Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam
menangani dan mengatasi emosi mereka:
a.) Sadar
diri. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi noleh jadi melandasi cirri-ciri
kepribadian lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun,
kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila
suasana hatinya jelek, mereka tidak risau dan tidak larut kedalamnya, dan mampu
melepas diri dari suasana itu dengan lebih cepat.
b.) Tenggelam
dalam permasalahan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali merasa dikuasai
oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati
mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka mudah arah dan amat tidak peka akan
perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu bukannya mencari perspektif
baru.
c.) Pasrah.
Meskipun sering kali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka
juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak
berusaha untuk mengubahnya.
2. Mengelola
emosi. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam ketrampilan ini akan
terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara merka yang pintar
dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan
dalam kehidupan. Penguasaan diri, yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosional
yang dibawa oleh sang nasib, dan bukannya menjadi “budak nafsu”.
Tujuannya adalah
keseimbangan emosi, bukan menekan emosi; setiap perasaan mempunyai nilai dan
makna. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalan kebosanan dan jarak; bila
emosi tak dikendalikan terlampau ekstrem dan terus-menerus, emosi akan menjadi
sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang
meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan (mania).
3. Memotivasi
diri sendiri. Orang-orang yang memiliki harapan tinggi, menurut penemuan
Snyder, memiliki cirri-ciri tertentu, diantaranya adalah mampu memotivasi diri,
merasa cukup banyak akal utnuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki
kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi
tahap sulit, cukup luwes untuk menemukan cara alternative agar sasaran tetap
tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semua mustahil dijangkau, dan
mempunyai keberanian untuk memecah-mecah tugas amat berat menjadi tugas
kecil-kecil yang mudah ditangani.
Dari sudut
pandang kecerdasan emosional, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan
terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi
sulitnya tantangan atau kemunduran. Optimisme, seperti harapan, berarti memiliki
pengharapan yang kuat bahwa, secara umum segala sesuatu dalam kehidupan akan
beres, kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan
emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar jangan sampai
terjatuh ke dalam kemasabodoan, keputusasaan, atauu depresi bila dihadang
kesulitan.
Seligman
mendefinisikan optimisme dalam kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan
dan kegagalan mereka. Orang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh
sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa
mendatang; sementara orang yang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya
sendiri, menganggapnya berasal dari pembawaan yang telah mendarap daging yang
tak dapat mereka ubah.
4. Mengenali
emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri
emosional, merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Kemampuan berempati yaitu
kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut berperan dalam
pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke
asrama dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik.
Tiadanya empati
jiga sangat nyata. Ketiadaannya terlihat pada psikopat criminal, pemerkosa, dan
pemerkosa anak-anak. Emosi jarang diungkapan denga kata-kata; emosi jauh lebih
sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain
adalah mampu membaca pesan nonverbal: nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah
dan sebagainya.
Teori Titchener adalah bahwa empati
berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian
menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Ia mencari kata yang
berbeda dengan simpati, yang dapat dirasakan pada kemalangan lumrah orang lain
tanpa ikut merasakan apa pun yang dirasakan oleh orang lain itu.
Martin Hoffman,
berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban
potensial misalnya seseorang yang dalam keadaan sakit, bahaya, atau kemiskinan
dan ikut merasakan kemalangan merekalah yang mendorong orang untuk bertindak
member bantuan.
5. Membina
hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan
sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang
lain; mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
Modal dasar
dalam menjalin hubungan dengan orang lain yaitu kematanga dalam manajemen diri
dan empati. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam
pergaulan dengan orang lain; tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada
ketidakcakapan dalam dunia sosial, karena dengan tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang itaknya
paling encer pun dapat gagal dalam membina hubungan mereka, karena
penampilannya angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan.
Kemampuan sosial
ini memungkinan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami
orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinan dan mempengaruhi,
membuat orang-orang lain merasa nyaman. Salah satu kunci kecakapan sosial
adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri.
PENUTUP
Keluarga
Laisa adalah salah satu contoh dari sekian keluarga yang ada yang bisa
dikatakan berhasil. Berangkat dari masa yang serba keterbatasan akan tetapi
ketekunan, kerja keras, dan rasa optimislah yang kemudian merubah garis
kehidupan mereka. Salah satu contoh keluarga yang sukses dalam pendidikan,
kehidupan sosial yang shaleh dan kehidupan spiritual yang indah.
Referensi
: Mahmudah, Isrowiyatul. Skripsi:
NILAI-NILAI EQ (EMOTIONAL QUOTIENT) DALAM NOVEL BIDADARI-BIDADARI SURGA KARYA
TERE LIYE SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN AGAM ISLAM. 2009.
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment