Blog ini mengandung konten teknologi informasi yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran mengenai komputer.

Tuesday, July 30, 2013

MAKALAH NOVEL " BIDADARI-BIDADARI SURGA"

PENDAHULUAN

Sosok Laisa adalah sebuah bentuk pengorbanan yang luar biasa ikhlas dari seorang kakak kepada adik-adiknya, meskipun Laisa tahu bahwa Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta bukan adik kandungnya. Sebagai makhluk Tuhan, dia pandai mensyukuri segala nikmat-NYA dengan keterbatasan, kerja keras, dan ujian. Jika dikategorikan ke dalam nilai-nilai kecerdasan emosional, maka Laisa memiliki sifat kesadaran atau kepekaan yang tinggi. Dia mengerti benar keadaan ekonominya yang sulit dan harus membantu Mamak Lainuri membiayai kebutuhan ekonomi dan membiayai sekolah adik-adiknya hingga akhirnya laisa mampu mengambil keputusan yang benar-benar penting.
Dewasa ini banyak pelajar atau lulusan pendidikan yang kurang menunjukan sifat terpuji. Banyak dari mereka yang melakukan pencurian, pemerkosaan, dan penyimpangan sosial negatif lainnya. Diantara penyebab dari permasalahan tersebut adalah adanya pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif atau kecerdasan intelektual saja. Sementara aspek afektif dan psikomotor kurang diperhatikan. Dengan pemaparan karakter Laisa yang sederhana, berani, dan pantang menyerah, diharapkan masyarakat mengerti bahwa keindahan hati lebih mulia daripada keindahan secara fisik. Sosok Laisa dapat dipastikan menjadi dambaan tak terkecuali masyarakat yang gemar membaca novel karya Tere Liye yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga ini.
Pemakalah berharap dengan memberikan pemahaman dari aspek psikologi bahwa kehidupan Laisa dapat begitu dekat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya dan akan lebih mudah khususnya bagi generasi muda untuk mendapat panutan demi didapatkannya keseimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang menjadi salah satu tujuan seminar.








ISI
Novel adalah salah satu media pembelajaran yang dapat merangsang banyak panca indera untuk menerima informasi atau komunikasi. Novel adalah karya sastra fiksi, bukan hayalan belaka dan diciptakan dari perenungan. Novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye didalamnya ada nilai-nilai pendidikan, kerja keras, kedisiplinan, pengorbanan yang ikhlas sebagai wujud syukur terhadap Allah SWT. Bercerita tentang seorang kakak dengan keempat adiknya yang bukan adik kandungnya. Pandai mensyukuri keadaan dengan keterbatasannya dan selalu bekerja keras. Jika dikategorikan dalam nilai-nilai kecerdasan emosi, Laisa termasuk orang yang mempunyai sikap sadar diri, yaitu peka terhadap sekitar.
Hasil penelitian menunjukkan: 1). Dalam novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye terdapat nilai emosional, nilai ini terperinci dalam nilai-nilai emosional yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”. Nilai-nilai tersebut yaitu: a). Mengenali emosi diri, diantaranya: mengenali emosi diri, mendengarkan suara hati, dan memahami alam bawah sadar, b). Mengelola emosi, diantaranya: penguasaan diri, marah, mengatasi kecemasan, dan menangani kesedihan, c). Memotivasi diri seniri, diantaranya: kecakapan utama, kendali dorongan hati, hati risau pikiran kacau, optimisme, dan flow, d). Mengenali emosi orang lain/empati, e). Membina hubungan, diantaranya: seni sosial, penunjukan emosi, keterampilan pengungkapan emosi dan penularan emosi. 2). Kandungan novel penuh dengan muatan emosi dalam proses pembelajaran dan mensikapi hidup dalam keterbatasan dapat dijadikan referensi baik ecara formal maupun informal.
Solovey memperluas kemampuan kecerdasan pribadi Gardner menjadi lima wilayah utama, yaitu :
1.      Mengenali emosi diri. Kemampuan utnuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang mempunyai keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang seungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka:

a.)    Sadar diri. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi noleh jadi melandasi cirri-ciri kepribadian lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya jelek, mereka tidak risau dan tidak larut kedalamnya, dan mampu melepas diri dari suasana itu dengan lebih cepat.
b.)    Tenggelam dalam permasalahan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka mudah arah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu bukannya mencari perspektif baru.
c.)    Pasrah. Meskipun sering kali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya.
2.      Mengelola emosi. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam ketrampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara merka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. Penguasaan diri, yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosional yang dibawa oleh sang nasib, dan bukannya menjadi “budak nafsu”.
Tujuannya adalah keseimbangan emosi, bukan menekan emosi; setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalan kebosanan dan jarak; bila emosi tak dikendalikan terlampau ekstrem dan terus-menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan (mania).
3.      Memotivasi diri sendiri. Orang-orang yang memiliki harapan tinggi, menurut penemuan Snyder, memiliki cirri-ciri tertentu, diantaranya adalah mampu memotivasi diri, merasa cukup banyak akal utnuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi tahap sulit, cukup luwes untuk menemukan cara alternative agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semua mustahil dijangkau, dan mempunyai keberanian untuk memecah-mecah tugas amat berat menjadi tugas kecil-kecil yang mudah ditangani.
Dari sudut pandang kecerdasan emosional, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran. Optimisme, seperti harapan, berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa, secara umum segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar jangan sampai terjatuh ke dalam kemasabodoan, keputusasaan, atauu depresi bila dihadang kesulitan.
Seligman mendefinisikan optimisme dalam kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka. Orang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang; sementara orang yang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, menganggapnya berasal dari pembawaan yang telah mendarap daging yang tak dapat mereka ubah.
4.      Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke asrama dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik.
Tiadanya empati jiga sangat nyata. Ketiadaannya terlihat pada psikopat criminal, pemerkosa, dan pemerkosa anak-anak. Emosi jarang diungkapan denga kata-kata; emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal: nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya.
Teori Titchener adalah bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Ia mencari kata yang berbeda dengan simpati, yang dapat dirasakan pada kemalangan lumrah orang lain tanpa ikut merasakan apa pun yang dirasakan oleh orang lain itu.
Martin Hoffman, berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial misalnya seseorang yang dalam keadaan sakit, bahaya, atau kemiskinan dan ikut merasakan kemalangan merekalah yang mendorong orang untuk bertindak member bantuan.
5.      Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain; mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
Modal dasar dalam menjalin hubungan dengan orang lain yaitu kematanga dalam manajemen diri dan empati. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain; tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial, karena dengan tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang itaknya paling encer pun dapat gagal dalam membina hubungan mereka, karena penampilannya angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan.
Kemampuan sosial ini memungkinan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman. Salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri.




PENUTUP
Keluarga Laisa adalah salah satu contoh dari sekian keluarga yang ada yang bisa dikatakan berhasil. Berangkat dari masa yang serba keterbatasan akan tetapi ketekunan, kerja keras, dan rasa optimislah yang kemudian merubah garis kehidupan mereka. Salah satu contoh keluarga yang sukses dalam pendidikan, kehidupan sosial yang shaleh dan kehidupan spiritual yang indah.







Referensi : Mahmudah, Isrowiyatul. Skripsi: NILAI-NILAI EQ (EMOTIONAL QUOTIENT) DALAM NOVEL BIDADARI-BIDADARI SURGA KARYA TERE LIYE SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN AGAM ISLAM. 2009. Yogyakarta.

No comments: